Seorang diagnostikus tidak bebas dalam menyelenggarakan pemeriksaan psikologi, artinya banyak persyaratan yang dituntut dan dipertimbangkan.Tes psikologi tidak aka nada mamfaatnya ditangan yang tidak ahli atau bila salah penyelenggaraan dan interpretasi berdampak besar karena itu semua menyangkut dalam kehidupan manusia.
Masalah etika dalam pemeriksaan
psikologi berhubungan erat dengan etika bidang psikologi pada umumnya. Seorang diagnostikus
tidaklah bebas begitu saja dalam
menyelenggarakan suatu pemeriksaan psikologi, meskipun ia sudah cukup kompeten dan ahli dalam
menggunakan seperangkat tes. Dampaknya akan sangat besar bila tes ini salah
diselenggarakan dan
diinterpretasikan, karena menyangkut kehidupan manusia. Di Indonesia, masalah
etika psikologi (kode etik psikologi) masih terus dijajaki kemungkinan dan pelaksanaannya. Meskipun
belum ada suatu keputusan yuridis
formal mengenai hal itu, tetapi telah diperoleh suatu konsensus di kalangan para ahli
psikologi dan ahli bidang lainnya yang bekerja sama dengan ahli psikologi (misalnya
ahli pendidikan, ahli medis, ahli sosial), guna memperlancar penyelenggaraan
pemeriksan psikologi dan kewenangannya. Secara ideal dan teoritis, hanya ahli psikologi dan
mereka yang telah mendapat
pelatihan khusus yang berhak dan berwenang untuk menyelenggarakan pemeriksaan psikologi
dan psikodiagnostik.
Ditinjau dari jenis penyelenggaraan
tesnya sendiri terdapat berbagai perbedaan
kewenangan dan kompetensi. Hal ini kadang-kadang agak mengaburkan arti etika pemeriksaan
psikologi, karena seolah-olah terdapat kelonggaran penyelenggaraan untuk
jenis kasus-kasus tertentu.
Yang
menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi biasanya mencakup hal berikut
ini:
- Siapa yang berhak
melakukan diagnosis psikologi (menyelenggarakan tes psikologi dan
menginterpretasikannya).
- Siapa yang
bertanggung jawab untuk menggunakan perangkat tes (termasuk masalah
penggandaannya, pendistribusiannya dan sebagainya).
- Bagaimana
seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam menegakkan
suatu diagnosa psikologi.
v Siapa
yang Berhak Melakukan Diagnosa Psikologi
Telah dikatakan
bahwa dilihat dari penyelenggaraan tes, ada diagnosa psikologi yang mungkin dapat dilakukan
oleh bukan ahli psikologi, atau orang yang tidak mendapat pelatihan dan pendidikan khusus untuk
itu. Tetapi ada yang benar-benar
harus dilaksanakan oleh ahli yang kompeten untuk hal itu dan mereka mendapat
pendidikan khusus. Seharusnya pemeriksaan psikologi ini dilaksanakan di bawah
supervisi seorang ahli atau oleh ahli yang bersangkutan (Sumadi Suryabrata,
1971).
Ditinjau dari
segi penggunaannya, diagnosa psikologi dan penyelenggaraannya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
- Diagnosa untuk
keperluan pelatihan/pendidikan Diagnosa untuk tujuan ini
diselenggarakan khusus untuk bidang pendidikan psikologi untuk
memperoleh keterampilan diagnostik. Masalahnya tidak hanya sekedar tahu
atau tidak tahu, tetapi lebih daripada itu, juga masalah bisa atau
tidak bisa menyelenggarakannya. Karena itu latihan untuk tujuan ini
sangat penting.
- Diagnosa mengenai
prestasi belajar Diagnosa
untuk tujuan ini diselenggarakan untuk melihat sejauh mana penyelenggaraan
pendidikan telah mencapai hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu
diperlukan pengujian dengan melalui seperangkat tes prestasi. Para pendidik
dapat merancang dan menggunakannya untuk keperluan ini. Tetapi bila dalam
pemeriksaan nampak adanya gejala kelainan/penyimpangan, maka seyogyanya
kasus ini diserahkan kepada ahli yang lebih berwenang untuk menanganinya.
Kasus semacam ini banyak ditemukan dalam ruang lingkup bimbingan dan
konseling dalam dunia pendidikan.
- Diagnosa dengan
menggunakan tes psikologi Untuk tujuan ini penyelenggaraan
tes tidak diperkenankan dilakukan oleh sembarangan orang, melainkan harus
dikerjakan oleh ahli psikologi atau mereka yang mendapat pendidikan dan
pelatihan khusus untuk itu. Tes psikologi sebagai alat diagnostik
manfaatnya sangat tergantung dari siapa yang menggunakan dan bagaimana tes
tersebut digunakan. Di tangan seorang ahli yang berwenang untuk
itu, tes psikologi akan sangat bermanfaat. Tetapi di tangan mereka
yang bukan ahli, tes ini mungkin akan mendatangkan bahaya.
Kouwer
membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi berdasarkan tiga fungsi pemeriksaan
psikologi, yaitu:
- Pemeriksaan
dengan tujuan memprediksi. Syarat utama untuk pemeriksaan ini
adalah pelaksanaan yang eksak dan terkontrol. Pada prinsipnya semua
orang yang mengetahui prinsip ini dapat menyelenggarakan tes untuk tujuan
ini. Jadi dilakukan oleh administrator tes, tetapi untuk interpretasi tes
sebaiknya dilakukan oleh ahli psikologi.
- Pemeriksaan
dengan tujuan mendeskripsikan. Nilai dari tes ini
terletak sepenuhnya pada interpretasinya, artinya terletak pada
analisis psikologi tentang hasil tes. Oleh karena itu, syarat yang esensial
adalah menguasai sepenuhnya teori kepribadian dan arti diagnostik dari
materi tes yang digunakan. Untuk tujuan ini seorang ahli psikologi-lah yang
berkompeten menyelenggarakan pemeriksaan tersebut.
- Pemeriksaan
dengan tujuan terapi. Syarat untuk memakai material tes
dalam tujuan ini harus dilatarbelakangi oleh pengetahuan psikologi yang
khusus dan pengetahuan tentang terapi. Untuk berhasil dalam tujuan tes
ini, ahli terapi harus mengerti secara mendalam tentang arti,
syarat-syarat dan sifat-sifat materi tes tersebut. Beberapa jenis tes
dalam penyelenggaraannya tidak terlalu menuntut keahlian psikologi
tertentu, jadi dapat diselenggarakan oleh administrator tes yang cukup cekatan
melalui pelatihan yang sederhana. Tetapi cukup banyak pula tes psikologi yang
tidak dapat dilaksanakan oleh administrator tes, seperti misalnya jenis tes
dengan teknik projektif (Sumardi Suryabrata, 1971).
Kompetensi
penggunaan alat tes berkaitan erat dengan tingkatan atau level kompleksitas pada
alat tes itu sendiri. American
Psychological Association (APA) telah mengkategorikan alat tes psikologi ke
dalam tiga level sebagai berikut:
- Level A:
Level ini mencakup
alat tes yang dapat di administrasikan, diskor dan diinterpretasikan
dengan bantuan manual. Tes jenis ini dapat dipergunakan dan diinterpretasikan
oleh nonpsikolog yang memiliki rasa tanggung jawab, seperti eksekutif
business dan kepala sekolah. Penggunaan
tes-tes level A memerlukan kursus tingkat advance ataupun lulusan sarjana dari
universitas terakreditasi, atau pelatihan yang setara di bawah pengarahan
supervisor atau konsultan yang qualified. Contoh dari alat tes ini adalah tes vocational dan pencapaian
akademik, sebagian
besar inventori minat, dan tes-tes pilihan ganda yang menggunakan pengukuran sederhana
dalam penginterpretasiannya, baik individual maupun kelompok.
- Level B:
Penggunaan alat
tes level ini memerlukan latar belakang training khusus dalam pengadministrasian,
skoring, dan interpretasi. Alat-alat tes pada level ini lebih kompleks daripada
level A dan memerlukan pemahaman tentang prinsipprinsip psikometri, sifat-sifat
yang diukur, dan bidang keilmuan dimana alat tes tersebut digunakan (misalnya pendidikan, klinis,
konseling). Alat
tes ini dapat dipergunakan oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat
lanjut dalam bidang testing dari universitas atau institusi yang terakreditasi,
atau telah memperoleh training yang setara dibawah pengawasan psikolog.
Paling tidak, pengguna alat tes ini harus telah mengikuti pelatihan yang tepat
tentang prinsip-prinsip psikometri (reliabilitas, validitas, konstruksi tes) dan
memiliki pengalaman yang terkontrol dalam pengadministrasian, penyekoran, dan
penginterpretasian alat-alat tes tersebut. Tes-tes level B umumnya
mencakup sebagian besar tes prestasi atau minat individual atau kelompok, inventori screening, dan
tes personal. Contoh alat tes
kategori ini adalah tes bakat dan tes inventory kepribadian untuk populasi normal.
- Level C:
Level C
merupakan kategori yang paling ketat dan mencakup tes-tes dan alat bantu yang membutuhkan
pelatihan dan pengalaman dalam pengadministrasian, penyekoran, dan
penginterpretasian. Alat
tes kategori ini memerlukan pemahaman yang substansif tentang testing. Penggunaan alat tes
kategori ini membutuhkan pelatihan dalam bidang profesional khusus dimana tes ini digunakan
(misalnya psikologi sekolah, klinis, atau konseling). Secara khusus, tes kategori ini
hanya dapat dipergunakan oleh
mereka yang memperoleh pendidikan minimum, master di bidang psikologi atau bidang-bidang yang
berkaitan. Juga diperlukan verifikasi tentang ijin atau sertifikat sebagai
psikolog. Tes-tes
level C umumnya mencakup beberapa tes diagnostik klinis, kepribadian, bahasa,
atau bakat, baik kelompok maupun individual. Sebagai contoh, yang termasuk
instrumen kategori ini adalah tes kecerdasan individu, tes proyektif, dan tes
battery neuropsikologi.
v
Siapa yang Bertanggung Jawab untuk
Mengamankan Perangkat Tes
Betapa sulit dan
bukan pekerjaan yang mudah untuk mengkonstruksi suatu tes psikologi. Karena
itu, bila suatu tes telah dikonstruksi dan telah terbukti manfaatnya untuk
keperluan diagnostik, sangat perlu untuk mengamankannya dan menjaga keobjektifannya.
Hal ini menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu menggunakan materi tes
tersebut. Cronbach
(1969), memberikan pendapat tentang siapa yang berhak menggandakan dan
mendistribusikan material tes psikologi. Dalam hal ini, penggandaan materi tes
hanya diperkenankan oleh penerbit yang memiliki kualifikasi untuk itu, serta terbatas adanya.
Semakin sulit tes tersebut dalam interpretasinya,
semakin terbatas badan yang dapat menerbitkannya. Untuk prinsip sistem kendali
pendistribusian ini lihat Ethical
Standards of Psychologist dari American
Psycological Association, 1986 (dalam Cronbach,
1969). Sebagaimana
telah dijelaskan di atas, terdapat tiga kategori tes dilihat dari kompleksitasnya,
yaitu level A, level B, dan level C. Berdasarkan level tersebut, dapat
diterapkan siapa yang bertanggung jawab untuk pengendalian dan pendistribusiannya
disamping penggunaannya.
v
Bagaimana Seharusnya Seorang
Diagnostikus Bersikap dan Bertingkah Laku
dalam Suatu Pemeriksaan Psikologi
Hal
ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa dan subjek yang diperiksa melalui
suatu good raport. Kouwer memberi gambaran
tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan psikologi berdasarkan bahasan
fungsi dan tujuan tes. Secara ringkas
hal itu dapat diuraikan sebagai berikut:
§
Etika dalam tes
meramalkan/memprediksikan Pembatasan
dalam pengetesan ini hanya pada aspek-aspek yang dapat dikuantifikasikan. Yang diukur adalah
bukan kliennya sendiri, tetapi fakta objektif yang berhubungan dengannya.
Jadi manusia berada diluar hasil objektif yang dihasilkannya. Karena itu, sikap pemeriksa adalah sikap teknis,
praktis dan pragmatis
dalam membahas hasilnya. Bahasan hasil adalah rasional dan aspek
emosional harus dilupakan.
§
Etika dalam tes
mendeskripsikan Yang
diperhatikan bukan klien atau subjek, tetapi karakternya, sifatsifatnya yang khas, yang
dianggap sebagai sebab dari tingkah lakunya. Pada umumnya persyaratan etika tes meramalkan
berlaku juga disini. Pemeriksa
memberikan saran sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap subjek dan norma yang berlaku. Pendapat pribadi adalah
sentral, pemeriksa tidak melakukan pendekatan
teknik, tetapi mencari penyelesaian yang menurut dirinya baik.
§
Etika dalam tes
menemukan diri sendiri Pemeriksa
tidak boleh mengambil sebagian dari problematika subjek yang diperiksa. Tidak boleh
mengambil/mengalihkan tanggung jawab problematika subjek yang diperiksa. Pemeriksa mempunyai pandangan bahwa subjek dapat
memecahkan problemnya
sendiri serta bertanggung jawab atas alternatif pemecahan problem yang telah dipilihnya. Pertolongan yang
diberikan pemeriksa hanya terbatas pada memberi kemungkinan untuk suatu pemecahan masalah. Secara umum hubungan
yang terjalin antara pemeriksa dengan subjek yang diperiksa haruslah tetap hubungan antar manusia yang
saling menghormati, saling menjaga
dan saling menghargai (Sumardi Suryabrata, 1971). Dari dasar ini dapat ditarik suatu sikap
hubungan seperti:
¨ Tidak
menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang membutuhkan pertolongan, melainkan
sebagai manusia yang mempunyai harga diri, keinginan-keinginan tertentu dengan menghargai juga
latar belakang agama, politik
dan lingkungan sosialnya.
¨ Menjaga
rahasia pribadi subjek.
¨ Membuat
diagnosa dengan penuh hati-hati.
¨ Dengan
penuh simpati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subjek.
¨
Menciptakan rasa aman
bagi subjek yang diperiksa, selama pemeriksaan berlangsung.
No comments:
Post a Comment
saling membangun menuju arah yang lebih baikl