Saturday, February 9, 2013

etika dalam pemeriksaan psikologis



Seorang diagnostikus tidak bebas dalam menyelenggarakan pemeriksaan psikologi, artinya banyak persyaratan yang dituntut dan dipertimbangkan.Tes psikologi tidak aka nada mamfaatnya ditangan yang tidak ahli atau bila salah penyelenggaraan dan interpretasi berdampak besar karena itu semua menyangkut dalam kehidupan manusia.
Masalah etika dalam pemeriksaan psikologi berhubungan erat dengan etika bidang psikologi pada umumnya. Seorang diagnostikus tidaklah bebas begitu saja dalam menyelenggarakan suatu pemeriksaan psikologi, meskipun ia sudah cukup kompeten dan ahli dalam menggunakan seperangkat tes. Dampaknya akan sangat besar bila tes ini salah diselenggarakan dan diinterpretasikan, karena menyangkut kehidupan manusia. Di Indonesia, masalah etika psikologi (kode etik psikologi) masih terus dijajaki kemungkinan dan pelaksanaannya. Meskipun belum ada suatu keputusan yuridis formal mengenai hal itu, tetapi telah diperoleh suatu konsensus di kalangan para ahli psikologi dan ahli bidang lainnya yang bekerja sama dengan ahli psikologi (misalnya ahli pendidikan, ahli medis, ahli sosial), guna memperlancar penyelenggaraan pemeriksan psikologi dan kewenangannya. Secara ideal dan teoritis, hanya ahli psikologi dan mereka yang telah mendapat pelatihan khusus yang berhak dan berwenang untuk menyelenggarakan pemeriksaan psikologi dan psikodiagnostik.

Ditinjau dari jenis penyelenggaraan tesnya sendiri terdapat berbagai perbedaan kewenangan dan kompetensi. Hal ini kadang-kadang agak mengaburkan arti etika pemeriksaan psikologi, karena seolah-olah terdapat kelonggaran penyelenggaraan untuk jenis kasus-kasus tertentu.
Yang menjadi permasalahan dalam etika pemeriksaan psikologi biasanya mencakup hal berikut ini:

  1. Siapa yang berhak melakukan diagnosis psikologi (menyelenggarakan tes psikologi dan menginterpretasikannya).
  2. Siapa yang bertanggung jawab untuk menggunakan perangkat tes (termasuk masalah penggandaannya, pendistribusiannya dan sebagainya).
  3. Bagaimana seharusnya seorang diagnostikus bersikap dan bertingkah laku dalam menegakkan suatu diagnosa psikologi.

v Siapa yang Berhak Melakukan Diagnosa Psikologi

Telah dikatakan bahwa dilihat dari penyelenggaraan tes, ada diagnosa psikologi yang mungkin dapat dilakukan oleh bukan ahli psikologi, atau orang yang tidak mendapat pelatihan dan pendidikan khusus untuk itu. Tetapi ada yang benar-benar harus dilaksanakan oleh ahli yang kompeten untuk hal itu dan mereka mendapat pendidikan khusus. Seharusnya pemeriksaan psikologi ini dilaksanakan di bawah supervisi seorang ahli atau oleh ahli yang bersangkutan (Sumadi Suryabrata, 1971).

Ditinjau dari segi penggunaannya, diagnosa psikologi dan penyelenggaraannya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

  1. Diagnosa untuk keperluan pelatihan/pendidikan Diagnosa untuk tujuan ini diselenggarakan khusus untuk bidang pendidikan psikologi untuk memperoleh keterampilan diagnostik. Masalahnya tidak hanya sekedar tahu atau tidak tahu, tetapi lebih daripada itu, juga masalah bisa atau tidak bisa menyelenggarakannya. Karena itu latihan untuk tujuan ini sangat penting.

  1. Diagnosa mengenai prestasi belajar Diagnosa untuk tujuan ini diselenggarakan untuk melihat sejauh mana penyelenggaraan pendidikan telah mencapai hasil seperti yang diharapkan. Untuk itu diperlukan pengujian dengan melalui seperangkat tes prestasi. Para pendidik dapat merancang dan menggunakannya untuk keperluan ini. Tetapi bila dalam pemeriksaan nampak adanya gejala kelainan/penyimpangan, maka seyogyanya kasus ini diserahkan kepada ahli yang lebih berwenang untuk menanganinya. Kasus semacam ini banyak ditemukan dalam ruang lingkup bimbingan dan konseling dalam dunia pendidikan.

  1. Diagnosa dengan menggunakan tes psikologi Untuk tujuan ini penyelenggaraan tes tidak diperkenankan dilakukan oleh sembarangan orang, melainkan harus dikerjakan oleh ahli psikologi atau mereka yang mendapat pendidikan dan pelatihan khusus untuk itu. Tes psikologi sebagai alat diagnostik manfaatnya sangat tergantung dari siapa yang menggunakan dan bagaimana tes tersebut digunakan. Di tangan seorang ahli yang berwenang untuk itu, tes psikologi akan sangat bermanfaat. Tetapi di tangan mereka yang bukan ahli, tes ini mungkin akan mendatangkan bahaya.



Kouwer membatasi kewenangan menyelenggarakan tes psikologi berdasarkan tiga fungsi pemeriksaan psikologi, yaitu:

  1. Pemeriksaan dengan tujuan memprediksi. Syarat utama untuk pemeriksaan ini adalah pelaksanaan yang eksak dan terkontrol. Pada prinsipnya semua orang yang mengetahui prinsip ini dapat menyelenggarakan tes untuk tujuan ini. Jadi dilakukan oleh administrator tes, tetapi untuk interpretasi tes sebaiknya dilakukan oleh ahli psikologi.
  2. Pemeriksaan dengan tujuan mendeskripsikan. Nilai dari tes ini terletak sepenuhnya pada interpretasinya, artinya terletak pada analisis psikologi tentang hasil tes. Oleh karena itu, syarat yang esensial adalah menguasai sepenuhnya teori kepribadian dan arti diagnostik dari materi tes yang digunakan. Untuk tujuan ini seorang ahli psikologi-lah yang berkompeten menyelenggarakan pemeriksaan tersebut.
  3. Pemeriksaan dengan tujuan terapi. Syarat untuk memakai material tes dalam tujuan ini harus dilatarbelakangi oleh pengetahuan psikologi yang khusus dan pengetahuan tentang terapi. Untuk berhasil dalam tujuan tes ini, ahli terapi harus mengerti secara mendalam tentang arti, syarat-syarat dan sifat-sifat materi tes tersebut. Beberapa jenis tes dalam penyelenggaraannya tidak terlalu menuntut keahlian psikologi tertentu, jadi dapat diselenggarakan oleh administrator tes yang cukup cekatan melalui pelatihan yang sederhana. Tetapi cukup banyak pula tes psikologi yang tidak dapat dilaksanakan oleh administrator tes, seperti misalnya jenis tes dengan teknik projektif (Sumardi Suryabrata, 1971).

Kompetensi penggunaan alat tes berkaitan erat dengan tingkatan atau level kompleksitas pada alat tes itu sendiri. American Psychological Association (APA) telah mengkategorikan alat tes psikologi ke dalam tiga level sebagai berikut:

  1. Level A:
Level ini mencakup alat tes yang dapat di administrasikan, diskor dan diinterpretasikan dengan bantuan manual. Tes jenis ini dapat dipergunakan dan diinterpretasikan oleh nonpsikolog yang memiliki rasa tanggung jawab, seperti eksekutif business dan kepala sekolah. Penggunaan tes-tes level A memerlukan kursus tingkat advance ataupun lulusan sarjana dari universitas terakreditasi, atau pelatihan yang setara di bawah pengarahan supervisor atau konsultan yang qualified. Contoh dari alat tes ini adalah tes vocational dan pencapaian akademik, sebagian besar inventori minat, dan tes-tes pilihan ganda yang menggunakan pengukuran sederhana dalam penginterpretasiannya, baik individual maupun kelompok.

  1. Level B:
Penggunaan alat tes level ini memerlukan latar belakang training khusus dalam pengadministrasian, skoring, dan interpretasi. Alat-alat tes pada level ini lebih kompleks daripada level A dan memerlukan pemahaman tentang prinsipprinsip psikometri, sifat-sifat yang diukur, dan bidang keilmuan dimana alat tes tersebut digunakan (misalnya pendidikan, klinis, konseling). Alat tes ini dapat dipergunakan oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikan tingkat lanjut dalam bidang testing dari universitas atau institusi yang terakreditasi, atau telah memperoleh training yang setara dibawah pengawasan psikolog. Paling tidak, pengguna alat tes ini harus telah mengikuti pelatihan yang tepat tentang prinsip-prinsip psikometri (reliabilitas, validitas, konstruksi tes) dan memiliki pengalaman yang terkontrol dalam pengadministrasian, penyekoran, dan penginterpretasian alat-alat tes tersebut. Tes-tes level B umumnya mencakup sebagian besar tes prestasi atau minat individual atau kelompok, inventori screening, dan tes personal. Contoh alat tes kategori ini adalah tes bakat dan tes inventory kepribadian untuk populasi normal.

  1. Level C:
Level C merupakan kategori yang paling ketat dan mencakup tes-tes dan alat bantu yang membutuhkan pelatihan dan pengalaman dalam pengadministrasian, penyekoran, dan penginterpretasian. Alat tes kategori ini memerlukan pemahaman yang substansif tentang testing. Penggunaan alat tes kategori ini membutuhkan pelatihan dalam bidang profesional khusus dimana tes ini digunakan (misalnya psikologi sekolah, klinis, atau konseling). Secara khusus, tes kategori ini hanya dapat dipergunakan oleh mereka yang memperoleh pendidikan minimum, master di bidang psikologi atau bidang-bidang yang berkaitan. Juga diperlukan verifikasi tentang ijin atau sertifikat sebagai psikolog. Tes-tes level C umumnya mencakup beberapa tes diagnostik klinis, kepribadian, bahasa, atau bakat, baik kelompok maupun individual. Sebagai contoh, yang termasuk instrumen kategori ini adalah tes kecerdasan individu, tes proyektif, dan tes battery neuropsikologi.

v  Siapa yang Bertanggung Jawab untuk Mengamankan Perangkat Tes

Betapa sulit dan bukan pekerjaan yang mudah untuk mengkonstruksi suatu tes psikologi. Karena itu, bila suatu tes telah dikonstruksi dan telah terbukti manfaatnya untuk keperluan diagnostik, sangat perlu untuk mengamankannya dan menjaga keobjektifannya. Hal ini menjadi tanggung jawab para ahli yang selalu menggunakan materi tes tersebut. Cronbach (1969), memberikan pendapat tentang siapa yang berhak menggandakan dan mendistribusikan material tes psikologi. Dalam hal ini, penggandaan materi tes hanya diperkenankan oleh penerbit yang memiliki kualifikasi untuk itu, serta terbatas adanya. Semakin sulit tes tersebut dalam interpretasinya, semakin terbatas badan yang dapat menerbitkannya. Untuk prinsip sistem kendali pendistribusian ini lihat Ethical Standards of Psychologist dari American Psycological Association, 1986 (dalam Cronbach, 1969). Sebagaimana telah dijelaskan di atas, terdapat tiga kategori tes dilihat dari kompleksitasnya, yaitu level A, level B, dan level C. Berdasarkan level tersebut, dapat diterapkan siapa yang bertanggung jawab untuk pengendalian dan pendistribusiannya disamping penggunaannya.





v  Bagaimana Seharusnya Seorang Diagnostikus Bersikap dan Bertingkah Laku dalam Suatu Pemeriksaan Psikologi

Hal ini menyangkut etika pengetesan, relasi antar pemeriksa dan subjek yang diperiksa melalui suatu good raport. Kouwer memberi gambaran tentang sikap dan tingkah laku pemeriksa dalam pemeriksaan psikologi berdasarkan bahasan fungsi dan tujuan tes. Secara ringkas hal itu dapat diuraikan sebagai berikut:

§  Etika dalam tes meramalkan/memprediksikan Pembatasan dalam pengetesan ini hanya pada aspek-aspek yang dapat dikuantifikasikan. Yang diukur adalah bukan kliennya sendiri, tetapi fakta objektif yang berhubungan dengannya. Jadi manusia berada diluar hasil objektif yang dihasilkannya. Karena itu, sikap pemeriksa adalah sikap teknis, praktis dan pragmatis dalam membahas hasilnya.  Bahasan hasil adalah rasional dan aspek emosional harus dilupakan.
§  Etika dalam tes mendeskripsikan Yang diperhatikan bukan klien atau subjek, tetapi karakternya, sifatsifatnya yang khas, yang dianggap sebagai sebab dari tingkah lakunya. Pada umumnya persyaratan etika tes meramalkan berlaku juga disini. Pemeriksa memberikan saran sesuai dengan hasil pemeriksaan terhadap subjek dan norma yang berlaku. Pendapat pribadi adalah sentral, pemeriksa tidak melakukan pendekatan teknik, tetapi mencari penyelesaian yang menurut dirinya baik.
§  Etika dalam tes menemukan diri sendiri Pemeriksa tidak boleh mengambil sebagian dari problematika subjek yang diperiksa. Tidak boleh mengambil/mengalihkan tanggung jawab problematika subjek yang diperiksa. Pemeriksa mempunyai pandangan bahwa subjek dapat memecahkan problemnya sendiri serta bertanggung jawab atas alternatif pemecahan problem yang telah dipilihnya. Pertolongan yang diberikan pemeriksa hanya terbatas pada memberi kemungkinan untuk suatu pemecahan masalah. Secara umum hubungan yang terjalin antara pemeriksa dengan subjek yang diperiksa haruslah tetap hubungan antar manusia yang saling menghormati, saling menjaga dan saling menghargai (Sumardi Suryabrata, 1971). Dari dasar ini dapat ditarik suatu sikap hubungan seperti:
¨       Tidak menganggap subjek sebagai pasien atau penderita yang membutuhkan pertolongan, melainkan sebagai manusia yang mempunyai harga diri, keinginan-keinginan tertentu dengan menghargai juga latar belakang agama, politik dan lingkungan sosialnya.
¨       Menjaga rahasia pribadi subjek.
¨       Membuat diagnosa dengan penuh hati-hati.
¨       Dengan penuh simpati berusaha memahami kesulitan-kesulitan subjek.
¨       Menciptakan rasa aman bagi subjek yang diperiksa, selama pemeriksaan berlangsung.

Artikel Terkait

No comments:

Post a Comment

saling membangun menuju arah yang lebih baikl